Jakarta, NU Online
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menegaskan tidak pernah mengeluarkan fatwa mengenai larangan untuk menshalatkan jenazah perasuah yang beragama Islam, karena hukum menyelenggarakan shalat jenazah adalah fardlu kifayah. Namun para ulama atau kiai dianjurkan untuk tidak ikut menshalatkan jenazah perasuah sebagai satu bentuk hukuman sosial untuk membenteras rasuah.
Penegasan ini penting disampaikan terkait banyaknya kalangan yang salah faham terhadap fatwa yang diputuskan dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama, 25-28 Julai 2002di Asrama Hji Pondok Gede, Jakarta.
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj mengatakan, fatwa agar para ulama tidak menshalatkan jenazah perasuah itu berdasar pada hadits Nabi Muhammad SAW. Bahwa suatu ketika Nabi memerintahkan agar para sahabat menshalatkan jenazah seorang sahabat yang meninggal dalam perang Khaibar, namun Nabi sendiri tidak ikut menshalatkannya.
Para sahabat kemudian bertanya mengapa Nabi tidak ikut menshalatkan jenazah si fulan? Nabi bersabda, ‘Sesungguhnya sahabatmu ini telah melakukan korupsi di jalan Allah.’ Setelah sahabat memeriksa ternyata ditemukan sahabat yang meninggal tadi telah mengambil dan menyembunyikan harta rampasan perang (ghanimah) senilai dua dirham sebelum harta-harta ghanimah itu dibagi.
“Jadi NU mengikuti Nabi menyarankan agar para ulama tidak ikut menshalatkan jenazah koruptor. Tapi shalat jenazah tetap harus dilakukan karena hukumnya fardlu kifayah yang berarti cukup dilakukan oleh sebagian kaum muslimin saja. Maka biarlah yang menshalatkan orang lain saja, atau keluarganya,” kata Said Aqil kepada NU Online di Jakarta, Sabtu (21/8/2010).
Menurutnya, fatwa agar ulama atau kiai tak menshalatkan jenazah itu dimaksudkan agar menerbitkan rasa takut bagi para pelaku korupsi. “Sekarang ini korupsi di Indonesia sudah sangat kritikal maka perlu ada hukuman sosial buat para koruptor,” katanya. (nam)
VIVAnews - Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak bersependapat dengan cadangan Nahdlatul Ulama (NU) yang mencadangkan agar ulama tidak menyolatkan jenazah perasuah.
Bagi MUI hukum menyolatkan jenazah bagi perasuah beragama Islam hukumnya fardhu kifayah, wajib dikerjakan oleh sebahagian muslim.
"Orang Islam itu tetap wajib disolatkan. Kalau tiada yang solatkan, kita semua berdosa" kata Ketua Bidang Fatwa MUI Ma'ruf Amin dalam temubual dengan VIVAnews, Khamis 19 Ogos 2010.
Bila tidak ada satu pun muslim yang menyolatkan jenazah si perasuah, maka satu kampung tempat tinggalnya akan berdosa.
Oleh sebab itu, MUI tidak bersetuju dengan cadangan NU itu. MUI berpendapat perasuah tidak boleh dihukum seperti itu.
"Jangan kita terlalu keras dalam soal ini. Jangan sampai tidak mahu menyolatkan janazah. Sebaliknya, cari jalan terbaik bagaimana menghukumnya di penjara. Itu (cadangan NU) tidak relevan," kata Ma'aruf.
Cadangan itu disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Katib Am Syuriah Nahdlatul Ulama (NU) Malik Madany. Menurut Malik, para ulama dicadangkan supaya tidak menyolatkan jenazah perasuah yang meninggal dunia. Alasannya, rasuah merupakan kejahatan kemanusiaan yang luar biasa.
Surah Al-Mu'minun : Ayat 99 - 100
Kesudahan golongan yang kufur ingkar itu apabila sampai ajal maut kepada salah seorang di antara mereka, berkatalah ia: "Wahai Tuhanku, kembalilah daku (hidup semula di dunia) - Supaya aku mengerjakan amal-amal yang soleh dalam perkara-perkara yang telah aku tinggalkan". Tidak! Masakan dapat? Sesungguhnya perkataannya itu hanyalah kata-kata yang ia sahaja yang mengatakannya, sedang di hadapan mereka ada alam barzakh (yang mereka tinggal tetap padanya) hingga hari mereka dibangkitkan semula (pada hari kiamat).
Wednesday, September 15, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment